Wednesday, July 1, 2015

Memahami dan Memotivasi Cita-cita Anak

cita-cita berbeda dengan orangtua itu sudah pasti. Kalaupun sama, tidak mungkin sama persis. Gampangnya demikian, zaman orangtua dulu, atau bahkan orangtua muda zaman sekarang mengerti bahwa teknologi berkembang dengan cepat. Dulu anak-anak senang main bersama teman-temannya di luar rumah. Sekarang lebih senang bermain dengan hape, laptop, dan gadget lainnya di rumah. Dulu anak senang berkotor-kotoran dan berpeluh keringan bermain bersama teman-temannya. Sekarang benar-benar sulit mengajak anak bermain di luar rumah (walaupun tetap bisa). Perkembangan zaman merubah cara masyarakat berpikir. Tentu juga merubah cara pikir tentang cita-cita itu sendiri.

Dulu, orang ingin sekali bekerja kantoran, memiliki seragam, atau apapun yang berlambang kesuksesan dari pakaian. Dokter, pilot, PNS, dan sekarang cita-cita itu masih ada. Tapi sudah tidak setenar dulu. Sudah banyak universitas yang memunculkan progam baru untuk jurukan fakultasnya seperti teknik misalnya. Dulu belum ada teknik informatika. Baru ada setelah tahun 2008. Lalu pamornya naik, calon mahasiswanya banyak. Karena menganggap hal itu merupakan lahan baru untuk memperoleh pekerjaan layak di masa serba teknologi dan internet.

Lantas bagaimana orangtua memahaminya? Orangtua tidak bisa memaksakan kehendaknya. Karena anak akan belajar dari lingkungannya. Tumbuh menjadi remaja cita-citanya bisa berubah-ubah, tergantung dari teman-temannya. Belum saat menghadapi kenyataan di lapangan, cita-cita yang baru saja diambilnya, bisa berubah lagi. Begitu seterusnya sampai seorang anak merasa nyaman dalam mengejar apa yang dia inginkan. Bahkan perubahan cita-cita ini sangat cepat dibandingkan sebelum tahun 1990an. Orangtua perlu mendukung, karena bisa jadi bakat anak terasah tidak hanya di satu profesi saja.

Menjelaskan pada anak kurang lebihnya cita-cita yang ingin diraihnya. Keahlian apa yang harus dimilikinya. Itu penting. Orangtua harus terbuka terhadap kemauan anak. Karena sejatinya tidak ada anak di dunia ini yang tidak ingin membahagiakan orangtuanya. Hanya saja mungkin caranya berbeda dan kadang tidak dipahami oleh orangtuanya. Selain itu, motivasilah anak untuk terus bersemangat disaat gagal. Disaat idealismenya, khayalan dan imaginasinya bertemu dengan realita kehidupan yang jauh berbeda dengan bayangan pikirannya.

Lebih baik memotivasinya daripada mendebatnya. Sudah hal biasa cita-cita berbeda dengan orangtua. Karena saat anak jatuh dalam kegagalan dan tidak termotivasi lagi. Cita-cita apapun tidak akan menarik baginya. Sehingga hidupnya akan dipenuhi kerja-kerja-dan kerja tanpa menikmatinya. Anak akan merasa kesulitan nantinya jika PHK sudah tiba, saat itu mencari peluang kerja baru cukup sulit, jika nyatanya tidak ada cita-cita yang ingin diraih anak, maka semangatnya untuk bisa berjuang lagi dari kegagalan PHK juga tidak ada. Jangan sampai anak-anak kita nantinya menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya.

No comments:

Post a Comment