Thursday, July 9, 2015

Ingin Segera Menikah, Tapi Jodoh Belum Ada

Ingin Segera Menikah, Tapi Jodoh Belum Ada. Pernikahan adalah dambaan setiap orang. Bahkan tidak dipungkiri, sejak masih sekolah saja, duduk di bangku SMP dan SMA, sudah terbayang-bayang pernikahan. Karena cinta begitu menggebu-gebu. Karena tidak ingin sang kekasih jatuh ke tambatan hati yang lain. Maka menikah untuk menyegerakan semua keinginan diri itu. Ada yang diberi jalan kemudahan untuk meraihnya. Hingga sejak lulus SMA, pernikahan dilakukan tanpa hambatan. Ada yang sangat sulit meraihnya. Hingga usia menginjak 30 tahun, tetap saja jodoh belum ada.

Rasa ingin segera menikah itu patut diapresiasi. Karena banyak orang malah jatuh dalam nafsu logika yang ngawur. Mencintai dan berani tinggal seatap tanpa ikatan pernikahan. Menganggap pernikahan hanyalah untuk urusan hukum negara. Ada yang berani mencintai karena sejenis. Menganggap itu hak asasi diri yang akhirnya menjerumuskan pada nafsu yang tidak terkendali. Sungguh, menikah tentu untuk mencari kedamaian hati. Mereka yang tidak menikah hatinya tak damai. Ucapan di mulut berkata damai, tapi di tindakan, sikap, dan keseharian mencerminkan orang yang hilang rasa damainya. Mereka yang melanggar makna pernikahan dan mengabaiknya pun tak akan pernah damai. Hingga usia muda berlalu menjadi tua, kemudian sakit-sakitan, dan sadar dalam pikirannya dia menghabiskan waktu percuma berkutat pada cinta yang salah.

Sayangnya, di Indonesia pernikahan dipersulit. Sudah jodoh belum ada, belum ketemu, pernikahannya pun dipersulit. Kalau diadakan resepsi sederhana, banyak yang menggunjing. Padahal yang menggungjing belum tentu benar, namun dipastikan telah mendapatkan dosanya. Digosipkan pernikahan terjadi karena sang suami miskin, atau karena telah hamil duluan. Resepsi diadakan mewah pun belum tentu jauh dari gunjingan. Digosipkan pernikahan terlalu pamer, boros, dan menghambur-hamburkan uang, atau karena uang dari hasil yang haram. Sungguh polemik hidup di Indonesia, yang mana pernikahan harus melihat "bibit, bebet, bobotnya" yang tidak jelas siapa yang membuat pepatah itu. Menyengsarakan mereka yang ingin menghalalkan hubungan. Membuat sulit mereka yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Membuat sulit mereka yang kaya tapi ingin menikah dengan yang rupawan, tak mau ambil pusing, malah jatuh dalam dunia prostitusi.

Jika jodoh belum bertemu, maka pantaskanlah diri dulu. Jika jodoh belum bertemu, maka berdoalah, beribadahlah lebih banyak. Berharaplah kebaikan selalu datang padamu. Tentu ingin mendapatkan istri yang sholeh kalau kita tidak sholeh juga aneh rasanya. Jika ingin mendapatkan istri yang setia jika kita tidak menjaga pandangan mata dan ucapan atas teman-teman perempuan juga aneh rasanya. Keadilan itu ada. Jika ingin adil, maka kualitas diri yang menjadi patokan. Ukur diri sudah sebaik apa untuk mendapatkan jodoh yang seperti apa. Semoga ingin segera menikahnya dirimu dimudahkan jalannya.

Wednesday, July 1, 2015

Memahami dan Memotivasi Cita-cita Anak

cita-cita berbeda dengan orangtua itu sudah pasti. Kalaupun sama, tidak mungkin sama persis. Gampangnya demikian, zaman orangtua dulu, atau bahkan orangtua muda zaman sekarang mengerti bahwa teknologi berkembang dengan cepat. Dulu anak-anak senang main bersama teman-temannya di luar rumah. Sekarang lebih senang bermain dengan hape, laptop, dan gadget lainnya di rumah. Dulu anak senang berkotor-kotoran dan berpeluh keringan bermain bersama teman-temannya. Sekarang benar-benar sulit mengajak anak bermain di luar rumah (walaupun tetap bisa). Perkembangan zaman merubah cara masyarakat berpikir. Tentu juga merubah cara pikir tentang cita-cita itu sendiri.

Dulu, orang ingin sekali bekerja kantoran, memiliki seragam, atau apapun yang berlambang kesuksesan dari pakaian. Dokter, pilot, PNS, dan sekarang cita-cita itu masih ada. Tapi sudah tidak setenar dulu. Sudah banyak universitas yang memunculkan progam baru untuk jurukan fakultasnya seperti teknik misalnya. Dulu belum ada teknik informatika. Baru ada setelah tahun 2008. Lalu pamornya naik, calon mahasiswanya banyak. Karena menganggap hal itu merupakan lahan baru untuk memperoleh pekerjaan layak di masa serba teknologi dan internet.

Lantas bagaimana orangtua memahaminya? Orangtua tidak bisa memaksakan kehendaknya. Karena anak akan belajar dari lingkungannya. Tumbuh menjadi remaja cita-citanya bisa berubah-ubah, tergantung dari teman-temannya. Belum saat menghadapi kenyataan di lapangan, cita-cita yang baru saja diambilnya, bisa berubah lagi. Begitu seterusnya sampai seorang anak merasa nyaman dalam mengejar apa yang dia inginkan. Bahkan perubahan cita-cita ini sangat cepat dibandingkan sebelum tahun 1990an. Orangtua perlu mendukung, karena bisa jadi bakat anak terasah tidak hanya di satu profesi saja.

Menjelaskan pada anak kurang lebihnya cita-cita yang ingin diraihnya. Keahlian apa yang harus dimilikinya. Itu penting. Orangtua harus terbuka terhadap kemauan anak. Karena sejatinya tidak ada anak di dunia ini yang tidak ingin membahagiakan orangtuanya. Hanya saja mungkin caranya berbeda dan kadang tidak dipahami oleh orangtuanya. Selain itu, motivasilah anak untuk terus bersemangat disaat gagal. Disaat idealismenya, khayalan dan imaginasinya bertemu dengan realita kehidupan yang jauh berbeda dengan bayangan pikirannya.

Lebih baik memotivasinya daripada mendebatnya. Sudah hal biasa cita-cita berbeda dengan orangtua. Karena saat anak jatuh dalam kegagalan dan tidak termotivasi lagi. Cita-cita apapun tidak akan menarik baginya. Sehingga hidupnya akan dipenuhi kerja-kerja-dan kerja tanpa menikmatinya. Anak akan merasa kesulitan nantinya jika PHK sudah tiba, saat itu mencari peluang kerja baru cukup sulit, jika nyatanya tidak ada cita-cita yang ingin diraih anak, maka semangatnya untuk bisa berjuang lagi dari kegagalan PHK juga tidak ada. Jangan sampai anak-anak kita nantinya menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya.